Senin, 27 September 2010

Tangisan di Tengah Gurun

Judul diatas terdengar seperti judul sebuah novel fiksi. Tapi buku yang sedang saya baca ini, yang juga berjudul sama, bukanlah sebuah novel fiksi. Ini adalah sebuah kisah nyata. Buku ini menceritakan tentang Ciudad Juárez, kota di negara bagian Chihuahua, Meksiko, tepatnya di selatan perbatasan Meksiko dengan Amerika Serikat. Kota ini menjadi terkenal karena selama lebih dari 12 tahun karena tak kurang 400 tubuh perempuan tidak bernyawa telah ditemukan, sementara ratusan lainnya dinyatakan hilang.

Di awal bab diceritakan tentang seorang gadis muda bernama Silvia Elena Rivera Morales, 17 tahun, putri dari Ramona Morales. Karena kehidupan yang keras di Juárez, selain bersekolah, Silvia harus membantu mencari nafkah dengan bekerja di sebuah toko sepatu di kawasan Avenida 16 de Septiembre. Pekerjaan ini lebih baik dibanding sebagian besar gadis Juárez lain yang harus bekerja di maquiladora (pabrik perakitan di Meksiko, dikelola oleh perusahaan asal Amerika dan negara maju lainnya. Bahan baku dikirimkan ke Meksiko, dirakit, lalu produk jadi dikirimkan ke negara asal untuk dijual disana).

Hari itu, 11 Juli 1995, seperti biasa di pagi hari, Silvia diantar ke sekolah oleh Domingo, kakak laki-laki tertua Silvia. Seharusnya hari itu adalah hari yang cepat untuk Silvia, karena hanya ada satu ujian di sekolah, sehingga Silvia dapat meninggalkan rumah di pukul tujuh. Normalnya, Silvia harus berangkat pukul empat pagi untuk sampai di sekolah sebelum pukul enam, kemudian dilanjutkan bekerja di toko sepatu pada pukul satu siang, hingga toko tutup. Tetapi hari itu Domingo mendapati ada yang berbeda dari Silvia. Tak biasanya Silvia begitu diam sepanjang perjalanan.

Hari menjelang malam ketika Ramona, ibu Silvia, keluar dan merasa cemas karena Silvia belum juga sampai di rumah. Saat itu pukul 20.45, sedangkan jam kerja Silvia berakhir pukul delapan malam. Silvia memang mengabarkan bahwa dia akan tiba di rumah setelah pukul sembilan malam. Tetapi Ramona tetap saja khawatir, mengingat akhir-akhir ini banyak aksi pembunuhan terhadap gadis-gadis muda yang semuanya cantik, mungil, dengan rambut hitam tergerai, dan bibir penuh. Seperti Silvia. Sebagian besar korban menghilang dalam perjalanan pulang atau pergi bekerja, bahkan di waktu siang. Tubuh tak bernyawa mereka ditemukan beberapa minggu kemudian, bahkan ada yang beberapa bulan kemudian, di area semak belukar yang melingkari maquiladora. Tubuh para korban menunjukkan tanda-tanda pemerkosaan, mutilasi, dan siksaan. Beberapa dijerat dengan tali sepatunya sendiri. Yang lain jasadnya dirusak secara kejam, yang berdasarkan autopsi dinyatakan kematiannya akibat hantaman berulang-ulang sebelum akhirnya dibunuh. Hal itu cukup untuk membuat Ramona semakin cemas.

Ketika hingga pukul 22.30 Silvia belum pulang juga, Ramona menjadi sangat panik. Dengan tetap berharap putri tercintanya pulang, Ramona tetap menunggu di perhentian bus. Ketika pukul satu dini hari, bus terakhir untuk malam itu tiba, dan Silvia tidak ada di dalamnya, Ramona pun lemas. Ramona langsung meminta bantuan teman-temannya, yang kemudian menghantarkannya ke kantor polisi. Tetapi seperti biasa, para polisi itu acuh tak acuh dengan laporan Ramona, karena saking begitu banyaknya laporan gadis hilang, dan mereka mengganggap itu hal biasa. Mungkin gadis-gadis itu lari bersama kekasihnya, begitu selalu ucap mereka.

Dua bulan kemudian, tubuh Silvia Morales ditemukan dengan kondisi mengenaskan. Mengetahui hal itu, Ramona tidak percaya bahwa itu putrinya. Ramona tetap berharap putri tercintanya masih hidup. Mungkin ada kesalahan identifikasi, mungkin itu orang lain, bukan putrinya. Dengan kesedihan yang amat sangat, ibu paruh baya inipun meninggalkan kantor polisi dengan hati yang hancur. Delapan hari setelah itu, ditemukan mayat lain, Olga Alicia Perez, dengan kondisi sama seperti Silvia. Hingga musim dingin 1995, sembilas belas perempuan muda telah dibunuh, sehingga selama tiga tahun, totalnya mencapai 45 korban.

Juárez telah menjadi tempat yang sempurna untuk seorang pembunuh atau mungkin gerombolan pembunuh. Korban yang berlimpah, miskin, mudah percaya mungkin itu faktor penyebabnya, ditambah dengan lemahnya hukum, sehingga kejahatan ini sepertinya berlalu tanpa hukuman. Pertanyaannya, siapa yang telah membunuh perempuan-perempuan muda ini? Mengapa? Penasaran? Baca deh buku ini. Lumayan untuk nambah pengetahuan, plus merasakan sensasi membaca novel thriller. Selamat membaca!

2 komentar:

Gaphe mengatakan...

Ngebaca reviewmu, jadi kebayang sama telenovela pak.. nama-namanya kan kayak nama telenovela.. wakakak..

Fernandooo!!... Esperanzaaa!!

filomispico mengatakan...

Hahahha.. Waktu nulis review ini aku juga kepikiran gitu, bagaikan menulis skenario telenovela. Bukan begitu Señor Gaphe Gonzales?

Posting Komentar